Connect with us

Offside

Karir Johan Cruyff: Sang Bapak Total Football dan Tiki Taka Dunia

Karir Johan Cruyff

(speakbola.com) – Hendrik Johannes Crujiff atau dikenal sebagai Johan Cruyff adalah sebuah nama yang mungkin terucap di tengah pembicaraan mengenai siapa pemain sepak bola terbaik di dunia. Semasa hidup, karir Johan Cruyff bukan cuma dihabiskan sebagai pemain sepak bola saja. Namun ia juga dikenal sukses sebagai pelatih bersama Barcelona “dream team”-nya.

Di samping sebagai pemain dan pelatih, jika berbicara soal karir Johan Cruyff di dunia sepak bola tidak akan bisa lepas pula dari visi revolusionernya dalam merombak strategi bermain bola di lapangan hijau. Total football dan tiki taka, adalah dua taktik sepak bola yang melibatkan Johan Cruyff sebagai penggagasnya.

Pada rubrik Offside kali ini, mari kita tengok lembar demi lembar buku sejarah karir Johan Cruyff. Bagaimana ia memulai karirnya sebagai pemain sepak bola, hingga bertransformasi sebagai pelatih sukses. Juga bagamaina ia membawa revolusi sepak bola melalui total football dan tiki taka.

Karir Johan Cruyff Sebagai Pemain

AFC Ajax

Tim Junior

Cruyff resmi bergabung dengan tim Ajax junior pada tahun 1957 saat berusia 10 tahun. Dia berlatih di bawah pelatih Van dervin di tahun-tahun awalnya, yang melatihnya bukan hanya dalam hal sepak bola tetapi juga norma dan nilai kehidupan.

Tahun-tahun awal itu sangat penting, terutama karena ayah Cruyff meninggal dalam periode itu. Sementara usia Johan Cruyff saat itu baru 12 tahun. Ajax dengan sangat ramah menawarkan pekerjaan kepada ibu Cruyff untuk menjaga keluarga mereka tetap aman secara finansial. Oleh sebab itu, bagi Cruyff Ajax sudah seperti keluarga kedua.

Meskipun demikian Cruyff muda kurang disiplin pada masa itu. Ia kerap merokok dan berdebat dengan wasit juga rekan setimnya. Tim biasa mendisiplinkannya melalui berbagai cara. Terlepas dari itu, tak ada keraguan soal bakat sepak bola Cruyff muda. Ia lah pemain kedua dalam sejarah tim yang mendapatkan kontrak profesional penuh waktu.

Cruyff memulai debut tim pertamanya pada usia 17 tahun di bawah manajer Vic Buckingham dan berhasil mencetak gol pertamanya sebagai pemain pro saat melawan PSV.

Tim Senior

Karir Johan Cruyff di tim senior Ajax dimulai saat ia membuat debut untuk Ajax kala tim itu kalah 3-1 atas GVAV di musim 1964-1965. Meskipun laga berakhir sebagai sebuah kekalahan, Cruyff berhasil mencetak satu-satunya gol bagi Ajax. Setelah kekalahan itu, banyak hasil buruk yang diperoleh Ajax sehingga didatangkanlah seorang juru taktik baru pada pertengahan musim, yaitu Rinus Michels.

Secara keseluruhan Cruyff akhirnya mencatatkan empat gol dalam 10 laga yang ia lakoni di musim tersebut. Patut disayangkan, Ajax finis di posisi 13 yang merupakan salah satu prestasi terburuk Die Amsterdammers di Liga Belanda.

Catatan buruk yang diukir oleh Ajax menjadi sebuah pecutan bagi Cruyff untuk lebih baik lagi. Ia menjelma menjadi poros taktik total footballnya Rinus Michels, sosok yang memperkenalkan strategi itu ke dunia untuk pertama kalinya.

Total Footbal Ajax

Ajax dengan gaya permainan baru, total football, bangkit untuk meraih gelar juara Liga Belanda pada tiga musim berikutnya ditambah satu trofi Piala Belanda.

Performa Cruyff paling impresif ditunjukan pada musim 1966-1967. Ia mampu mencetak total 41 gol di semua kompetisi yang Ajax ikuti. Di antara 41 gol itu 33 di antaranya dibuat Cruyff di Liga Belanda sehingga berhak menyabet predikat top skor Liga Belanda. Sekaligus mempersembahkan double winner bagi Ajax di musim itu, yaitu trofi Liga Belanda dan Piala Belanda.

Kejayaan Ajax tidak berhenti sampai di situ. Cruyff membawa Ajax untuk mendominasi Liga Belanda dengan meraih lima trofi berikutnya, 1969-70, 1971-72, 1972-73, 1981-82, dan 1982-83.

Dominasi di kompetisi dalam negeri berlanjut ke kompetisi internasional. Cruyff membawa Ajax menjuarai Liga Champions dalam tiga musim beruntun dari 1970-1973. Kesuksesan itu membuat Ajax berhak menerima badge of honour sebagai salah satu tim tersukses di Liga Champions sekaligus menutup lembar karir Johan Cruyff di Ajax sementara.

FC Barcelona

Lembar Karir Johan Cruyff di Barcelona dimulai ketika ia datang ke tim bersama pemain asal Peru, Hugo Sotil. Mereka berdua menjadi pilihan presiden Barcelona saat itu, Agusti Montal I Costa, terkait kuota pemain asing di Liga Spanyol. Pada Mei 1973, otoritas sepak bola Spanyol hanya mengizinkan 2 pemain asing di dalam satu tim.

Di Barcelona, Cruyff kembali bekerja sama dengan mantan pelatihnya di Ajax, Rinus Michels, yang telah lebih dulu meninggalkan Ajax pada musim panas 1971 untuk menjadi juru taktik Barcelona. Keberadaan Michels dan Cruyff membuat Barcelona akhirnya memainkan total football juga di musim 1973-1974.

Barcelona Juara La Liga setelah Absen 13 tahun

Musim perdana Cruyff, Barcelona akhirnya mampu menjuarai Liga Spanyol setelah absen selama 13 tahun. Semusim berselang kebersamaan Cruyff dengan Michels berakhir karena sang pelatih memutuskan untuk kembali ke Ajax.

Pemain dengan nomor punggung 9 ini baru meninggalkan Barcelona usai meraih trofi Copa Del Rey pada musim 1977-1978 untuk berpetualang ke beberapa klub seperti Los Angeles Aztecs, Washington Diplomats, dan Levante. Setelah itu Cruyff akhirnya pulang ke Ajax pada bursa transfer musim dingin 1981.

Kembali ke Ajax

Cruyff kembali berseragam Ajax hingga akhir musim 1982-1983. Dalam reuni singkat itu, Cruyff mampu memberikan tiga trofi untuk Ajax. Kemudian, secara mengejutkan, Cruyff melanjutkan karir sepak bolanya denga bergabung bersama rival Ajax, Feyenoord, pada bursa transfer musim panas 1983.

Karir Johan Cruyff di Feyenoord

Ada sebuah spekulasi tentang penyebab perpindahan mengejutkan Johan Cruyff ke tim rival, Feyenoord. Penyebabnya adalah masalah harga diri seorang Cruyff. Dia masih ingin membuktikan bahwa dia masih bisa memberikan kesuksesan tapi Ajax tidak mau membiarkan Cruyff pensiun di klub itu. Oleh sebab itu Ia menerima kesepakatan Feyenoord dan menandatangani kontrak dengan tim rival di musim panas 1983.

Pada saat itu, Feyenoord sedang berjuang keras. Mereka belum pernah memenangkan liga sejak 1974 dan tim tidak memiliki bakat yang dibutuhkan untuk bersaing. Memenangkan apapun dengan tim itu akan terbukti menjadi tugas yang sulit bagi Cruyff.

Kecaman Penggemar

Tentu saja awal karir Johan Cruyff di Feyenord tidak mudah. Sebagai mantan pemain tim rival, para penggemar tidak ingin melihat Cruyff. Mereka mengembalikan tiket musiman mereka lagi ke klub dalam keadaan tersobek-sobek. Namun Cruyff langsung membawa pengaruhnya bagi tim, baik di sesi latihan maupun di pertandingan sebenarnya.

Meskipun mengalami awal yang menjanjikan, chemistry antarpemain masih belum terbentuk. Hal itu tercermin dalam kekalahan memalukan Feyenoord melawan Ajax 8-2.

Meski begitu, Feyenoord terus memenangkan pertandingan sementara Cruyff mulai mendikte tempo dan permainan dari belakang. Cara itu terbukti ampuh membuka banyak ruang untuk rekan setimnya.

Selain sebagai pemain, di Feyenoord Cruyff pada dasarnya adalah asisten pelatih tim utama Thijs Libregts. Fokus Cruyff dan sang pelatih di musim itu adalah stabilitas pertahanan dan efisiensi serangan, sangat berbeda dengan taktik total football. Taktik mereka berhasil karena Feyenoord terus memenangkan pertandingan dan Ajax mulai kehilangan poin dan membuat kesalahan.

Hingga pada bulan Februari, Feyenoord berhasil memenangkan double winner, mejadi juara Liga dan Piala Belanda. Pencapaian itu merupakan salah satu pencapaian terbesar Cruyff sepanjang masa.

Petinggi Feyenoord mencoba untuk memperpanjang kontrak tetapi Cruyff tahu bahwa fisiknya telah diambang batas selama menjalani musim. Dia mengakhiri karir bermain di Eredivisie pada 13 Mei 1984 dengan gol melawan PEC Zwolle. Cruyff memainkan pertandingan terakhirnya di Arab Saudi melawan Al-Ahli, membawa Feyenoord menang dengan satu gol dan satu assist. Usia Johan Cruyff saat pensiun adalah 37 tahun.

Kepergian Cruyff sebagai pemain bukanlah akhir dari hubungan Cruyff dengan sepak bola, melainkan hanyalah sebagai sebuah awal bagi lembar baru karir Johan Cruyff di dunia kepelatihan.

Karir Johan Cruyff Sebagai Pelatih

Ajax Amsterdam

Setahun usai pensiun sebagai pemain sepak bola, pada 1984, Cruyff menjadi pelatih Ajax. Di Ajax, Cruyff mulai menyusun metode bermain yang kelak akan memberinya kesuksesan sebagai pelatih Barcelona.

Metode Cruyff itu adalah modifikasi dari taktik total football mentornya, Rinus Michels. Jika Michels menggunakan pakem, yang di atas kertas tampak seperti 1-3-3-3, Cruyff memilih 3-4-3, atau 3-4-2-1. Namun idenya tak berbeda, penguasaan bola jadi yang utama. Ide ini jugalah yang nantinya menjadi DNA taktik tiki taka Barcelona.

Karir Kepelatihan Johan Cruyff di Barcelona

Saat datang ke Barcelona sebagai pemain pada 1973, Cruyff mendapati sebuah tim yang tengah mengalami krisis prestasi. Begitu pula ketika ia tiba sebagai pelatih, yang dilihat Cruyff adalah sebuah krisis morel.

Perombakan besar

Tak sampai di situ, Cruyff juga langsung melakukan perombakan besar-besaran di skuat Barcelona. Sejumlah bintang, seperti Victor Munoz, Ramon Caldere, dan Bernd Schuster, ditendang. Total, ada 15 pemain yang disingkirkan Cruyff saat itu.

Sebagai ganti dari 15 nama yang ditendang, Cruyff merekrut 12 pemain, termasuk di antaranya Bakero, Eusebio, dan Julio Salinas. Para pemain ini kemudian ditempa dengan konsep sepak bola yang telah dimatangkan Cruyff di Ajax. Walau begitu, Cruyff tahu bahwa pemain-pemain yang dia miliki saat itu belum benar-benar sesuai keinginannya. Oleh karenanya Cruyff pun turut merevolusi kurikulum di La Masia, akademi Barcelona.

Revolusi Kurikulum La Masia

Sebelum Cruyff datang sebagai pelatih, La Masia bukanlah akademi spesial. Parameter kesiapan seorang pemain tidak diukur dari segi teknik, melainkan fisik. Pemain yang diperkirakan tingginya tak mencapai 180 cm, misalnya, bakal disingkirkan. Oleh Cruyff, itu semua diubah.

Salah satu jebolan La Masia pertama yang menikmati buah dari revolusi ini adalah Guillermo Amor. Pada 1988, Amor dipromosikan Cruyff dari Barcelona B.

Berbekal revolusi itu, Cruyff sukses mengantarkan Barcelona menjadi juara Piala Winners 1988/89 dan Copa del Rey 1989/90. Akan tetapi, itu semua tidaklah cukup. Ditambah lagi, ada beberapa pemain pembelian Cruyff, yaitu Koeman dan Laudrup, yang gagal bersinal di musim perdana mereka

Gelar La Liga Perdana

Pada musim 1990/91, Sergi Barjuan, Albert Ferrer, dan Pep Guardiola dipromosikan ke tim utama. Cruyff mulai bisa menikmati revolusi yang ia lakukan di akademi La Masia.
Selain pemain dari akademi, Stoichkov pun didatangkan dari CSKA Sofia untuk menjadi Faktor X baru Barcelona.

Inilah musim di mana Cruyff bisa betul-betul memetik hasil kerjanya. Barcelona memang kalah di Supercopa de Espana, tersisih di semifinal Copa del Rey, serta takluk dari Manchester United di final Piala Winners. Akan tetapi, mereka sukses menggamit trofi La Liga pertamanya sejak 1985.

Gelar juara La Liga itu diraih Barcelona dengan cara spesial. Mereka menjadi tim paling produktif di liga dan mengakhiri musim dengan keunggulan 10 poin atas runner-up Atletico Madrid. Cruyff sendiri tidak secara rutin mendampingi Barcelona musim itu akibat penyakit jantung.

Gelar La Liga itu menjadi tonggak penting dalam perjalanan Cruyff sebagai pelatih Barcelona. Gelar itu memberinya kredensial dan kekuatan politis di dalam klub. Posisi tawar Cruyff begitu tinggi dan manajemen harus mengikuti segala permintaannya.

Musim 1991/92

Jelang dimulainya musim 1991/92, Cruyff mendatangkan Miguel Angel Nadal dari Real Mallorca dan Juan Carlos dari Atletico Madrid. Tim yang sudah kuat itu pun semakin kuat saja.

Barcelona mengawali musim dengan menekuk Atletico Madrid di ajang Supercopa. Akan tetapi, mereka sempat kesulitan di La Liga dan European Cup. Dari delapan pertandingan pertama, tiga kekalahan diderita Barcelona.

Titik balik baru dicapai Barcelona pada awal November, dalam sebuah laga European Cup menghadapi Kaiserslautern. Barcelona sudah menang 3-1 atas Lautern pada leg pertama di Camp Nou. Akan tetapi, pada leg kedua di Fritz Walter Stadium, Barcelona tampil luar biasa buruk. Saat turun minum, mereka berada dalam posisi tertinggal 0-1.

Di situlah Cruyff menunjukkan kematangannya sebagai seorang pelatih. Dia tak cuma piawai dalam utak-atik taktik tetapi juga pandai dalam mengangkat morel anak-anak asuhnya. Ketika masuk ruang ganti, Cruyff sama sekali tidak marah. Barcelona akhirnya memang kalah dalam pertandingan itu. Namun, mereka tetap berhak lolos ke babak berikutnya.

Sejak itu, Barcelona tampil seperti harapan Cruyff. Musim 1991/92 pun ditutup dengan gelar La Liga serta European Cup.

Musim 1993/94

Pada musim panas 1993, Romario didatangkan dari PSV Eindhoven. Kedatangan striker bengal asal Brasil itu membuat Barcelona semakin produktif.

Akan tetapi, di La Liga, mereka mendapat perlawanan hebat dari Deportivo La Coruna. Pun demikian, Barcelona akhirnya keluar sebagai juara melalui sebuah keberuntungan. Bek Deportivo, Miroslav Djukic, gagal mengeksekusi penalti ke gawang Valencia di partai pemungkas kompetisi.

Langkah Barcelona sedikit lebih mudah di Liga Champions. Setelah mengalahkan Dynamo Kyiv di babak pertama dan Austria Wien di babak kedua, mereka memuncaki klasemen pada fase grup. Barcelona pun berhak lolos ke semifinal menghadapi Porto.

Tanpa kesulitan berarti, Barcelona menundukkan Porto. Untuk kedua kalinya dalam dua tahun terakhir, Barcelona lolos ke final kompetisi antarklub paling bergengsi di Eropa. Lawan mereka kala itu adalah Milan asuhan Fabio Capello.

AC Milan Vs Barcelona 4-0

Laga final Liga Champions 1994 itu digelar tiga hari setelah Barcelona memastikan titel juara La Liga. Rasa percaya diri mereka sedang tinggi-tingginya saat itu. Saking tingginya, mereka melihat Milan sebagai tim yang bisa mereka sapu dengan mudah.

Kenyataannya, Barcelona tak berdaya di hadapan Milan. Mereka memang tak diperkuat Laudrup pada laga final karena ada aturan pembatasan pemain asing. Namun, tim lawan pun harus kehilangan sejumlah pilarnya, seperti Franco Baresi, Alessandro Costacurta, dan Marco van Basten.

Dengan kondisi demikian, Barcelona semestinya berada di atas angin. Namun, arogansi mereka jadi senjata makan tuan. Milan memberondong gawang Zubizarreta empat kali. Dua gol dari Daniele Massaro, dua lainnya dari Dejan Savicevic dan Marcel Desailly. Dalam semalam, Dream Team Barcelona hancur berantakan. Laga final AC Milan vs Barcelona itu berakhir dengan skor 4-0.

Akhir Karir Johan Cruyff Sebagai Pelatih

Pada 1994/95 dan 1995/96, Barcelona hanya bisa meraih satu trofi, yaitu Supercopa de Espana. Gelar La Liga pada musim itu melayang ke tangan Real dan Atletico Madrid. Cruyff pun benar-benar di ujung tanduk pada musim semi 1996.

Petinggi Barcelona menjalin kontak dengan Sir Bobby Robson. Di hadapan Cruyff, mereka masih menunjukkan kepercayaan tetapi itu semua hanyalah kepura-puraan. Ketika Sir Bobby sudah setuju untuk menjadi juru taktik Barca, Cruyff pun dicampakkan.

Pun era Cruyff di Barcelona tidak berakhir menyenangkan. Namun warisannya sama sekali tak bisa diabaikan. Pada 2009, Guardiola, mantan anak asuh Cruyff, berhasil membangun Dream Team baru dengan bermodalkan pemain-pemain jebolan La Masia, yang mana telah sukses direvolusi dahulu kala oleh Cruyff. Mulai dari Xavi Hernandez, Andres Iniesta, sampai Lionel Messi, dididik dengan kurikulum La Masia yang disusun oleh Cruyff.

Spanyol, Eropa, bahkan dunia berhasil mereka taklukkan. Gaya bermain tiki taka Barcelona menjadi patokan. Kemahiran mengolah bola jadi keharusan di mana pun. Teknik dan kecerdasan menjadi primadona, menggusur kekuatan dan kecepatan.

Lewat kiprah sepak bolanya, Cruyff mengubah sepak bola. Pun telah tiada sejak 2016 tetapi warisan sepak bola Johan Cruyff akan tetap hidup sepanjang masa.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in Offside